PENDAHULUAN
Permasalahan gender di masyarakat
sudah ada sejak manusia itu mulai muncul dimuka bumi ini. Namun pada awalnya
ketika ilmu pengetahuan dan teknologi belum maju seperti saat ini, isu gender
belum mendapat perhatian dan tidak dipermasalahkan baik oleh masyarakat secara
umum maupun oleh kaum feminis. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya
yang berkembang terkait dengan peran atau pembagian kerja, tanggung jawab serta
citra baku laki-laki dan perempuan pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang
wajar dan sah-sah saja.
Seiring dengan perkembangan jaman
yang diikuti oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, perhatian
masyarakat terutama kaum feminis terhadap fenomena sosial yang terkait dengan
isu gender mulai menjadi fokus perhatian. Perhatian terhadap permasalahan gender mulai muncul sekitar
tahun 40-an yang digagas oleh kaum feminis di Barat. Munculnya perhatian
terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya kesadaran
bahwa ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib lawan
jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan mulai
muncul yang dipelopori oleh tokoh feminis MaryWollstonecraft dan John
StuartMill (Amal, 1992).
Dalam perkembangan berikutnya
diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis
yakni mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib
kaum perempuan yang dianggapnya berada dalam posisi teropresi, tersubordinasi,
termarjinalisasi, dan terdiskriminasi. Gerakan feminis ini pada awalnya
berkembang di Negara Barat seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain,
dan dalam perkembangannya gerakan ini berkembang dalam tiga gelombang besar
yakni feminisme gelombang pertama, kedua dan ketiga. Feminisme gelombang
pertama berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis (1789) dimana pada saat
ini berkembang beberapa paham feminis seperti; feminis Liberal, feminisme
Radikal dan feminisme Marxis/Sosialis.
Dalam memahami keteropresian
perempuan, masing-masing feminis ini mempunyai pandangan yang berbeda.
Feminisme Liberal memandang bahwa keterbelakangan perempuan disebabkan karena
adanya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menjadikan perempuan
sebagai mahluk yang tersubordinasi bukan karena kondisi alamiah yang
dimilikinya. Sementara itu, feminisme Radikal memandang ketertindasan perempuan
karena seksualitas dan sistem gender yang akhirnya memunculkan sistem
patriarkhi, sedangkan feminisme Marxis memandang keteropresian perempuan
disebabkan karena struktur sosial, ekonomi dan politik yang erat kaitannya
dengan sistem kapitalisme (Arivia, 2005).
Feminisme gelombang kedua
dikembangkan oleh Simone de Beauvoir yang gerakannya dikenal dengan feminisme
Eksistensialis. Faham ini melihat persoalan penindasan perempuan dimulai dengan
adanya beban reproduksi di tubuh perempuan. Menurutnya beban reproduksi yang
ditanggung perempuan dan tanggung jawab membesarkan anak membuat perempuan
mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap laki-laki. Sementara feminisme
gelombang ketiga dikenal dengan feminisme Postmoderen, feminisme Multikultural
dan Ekofeminisme. Pada dasarnya semua paham feminisme ini bertujuan untuk
melihat dasar keterbelakangan perempuan yang kemudian ingin memperbaiki atau
mencarikan solusinya sehingga nasib perempuan menjadi lebih berdaya.
Demikian juga di Indonesia, perjuangan untuk memperbaiki nasib
perempuan sudah muncul sejak jaman penjajahan Belanda yang dipelopori oleh R.A
Kartini yang gerakannya dikenal dengan sebutan ”emansipasi”. Gerakan ini pada
prinsipnya juga merupakan gerakan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan
Indonesia yang pada saat itu eksistensinya sangat terpasung oleh budaya
patriarki sehingga perempuan tidak memperoleh akses terhadap pendidikan,
pekerjaan dan lain-lain. Meskipun gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan
sudah berlangsung sejak lama, namun sampai saat ini ketimpangan gender di
berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti dalam hal pendidikan, ekonomi,
politik, sosial dan budaya masih cukup menonjol. Oleh karena itu untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat seperti yang sudah dicanangkan
melalui komitmen Millenium Development Goals (MDGs), maka perlu dilakukan
berbagai upaya penanganan yang serius.
Dewasa ini permasalahan gender sudah
menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia. Munculnya perhatian
terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari
pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan
dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi ke pendekatan
kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Terjadinya
perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi
persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat menuju
terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG).
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)
adalah suatu bentukan kata yang mengandung dua konsep, yaitu kesetaraan gender
dan keadilan gender. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi lakilaki
dan perempuan untukmemperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagaimanusia,
agarmampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan
tersebut. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil
terhadap laki-laki dan perempuan (Angka I.3 dan 4 Lampiran Inpres No.9 Tahun
2000). Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan
langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut
sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan
menikmati hasil dari peran yang dimainkannya.
Dalam mengatasi persoalan gender,
telah dilakukan berbagai upaya baik di tingkat internasional, nasional maupun
regional. Di tingkat internasional pada tahun 1950 dan 1960-an telah di
deklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) dan
diakomodasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1968 melalui pembentukan
Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI). Selanjutnya, pada tahun
1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Deklarasi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut
memuat hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin
pelaksanaan deklarasi tersebut. Oleh karena deklarasi tersebut sifatnya tidak
mengikat, maka komisi PBB tentang Kedudukan Wanita kemudian menyusun rancangan
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pada
tahun 1975 di Mexico City, PBB menyelenggarakan Konfrensi Wanita Internasional
yang menghasilkan antara lain deklarasi persamaan antara perempuan dan
laki-laki dalam hal: pendidikan dan pekerjaan. Tiga tahun kemudian yakni tahun
1978 pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan membentuk Menteri Muda
Urusan Peranan Wanita (Men.UPW).
Melalui lembaga negara ini
Pemerintah Indonesia melaksanakan aksi penanggulangan. permasalahan perempuan
dan gender yang terjadi di masyarakat. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis
Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Karena ketentuan konvensi pada
dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka
pemerintah RI dalam Konfrensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi
Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menantatangani konvensi
tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang
dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui
konvensi tersebut.
Dalam pemungutan suara itu Indonesia
menyatakan setuju sebagai perwujudan untuk ikut berpartisipasi
dalamusahamenghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi
konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang menetapkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum
dan pemerintahan. Selanjutnya konvensi ini ditetapkan dalam bentuk undang-undang
yakni Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan. Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan
penanganan masalah gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh
pemerintah mulai dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan
pendekatan Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum
mampu mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga
pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development (GAD).
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN
Secara
umum (di dunia) telah terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga
parlemen. Ada 112 negara yang mengalami peningkatan, dan ada 28 negara yang
mengalami penurunan. Salah satu negara yang mengalami penurunan keterwakilan
perempuannya adalah Indonesia. Penurunan itu dapat dilihat selama 4 kali Pemilu
terakhir. Pada tahun 1987 keterwakilan perempuan sebesar 13%, pada tahun 1992
turun menjadi 12,5%, kemudian pada tahun 1997 turun lagi menjadi sebesar 10,8%
dan akhirnya ketika memasuki era reformasi tahun 1999 keterwakilan perempuan
Indonesia di parlemen turun lagi menjadi 9%. Itulah sebabnya kaum perempuan
Indonesia bertekad melakukan langkah affirmative action, atau kuota 30% bagi
perempuan di parlemen. Isu ini tidak samadengan usaha mengabaikan kualitas, apalagi dikatakan sebagai
“mengemis”. Menurut Diana Maddock, seperti dikutip Rumbold (1991), kuota gender
merupakan perjuangan perempuan yang menginginkan perlakuan yang sama bukan
perlakuan khusus, karena tujuannya memperoleh persamaan kesempatan bukan
persamaan pendapatan.
Ada
beberapa alasan mengapa affirmative action perlu diterapkan. Pertama,
kaum perempuan bukanlah tipe individu yang suka “keras” mengejar kepentingan
politik, namun tidak berarti ia tidak mempunyai kemampuan. Kedua,
bagaimanapun Pemilihan Umum pada dasarnya merupakan perwujudan dari instrumen
politik yang bertugas dan membahas masalah keterwakilan bukan kualifikasi
pendidikan (representative, not educational qualification). Ketiga,
dalam sistem politik yang masih kental nuansa patriarki-nya akan sangat tidak fair
bagi perempuan untuk berkompetisi. Kegigihan perjuangan perempuan di dunia
politik, khususnya di lembaga legislatif juga bukan tanpa dasar. Menurut
Valerie Bryson (1999) dari sekian isu terpinggirkannya perempuan di dunia
politik, masalah rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen merupakan isu
sentral yang kini banyak dikaji kaum feminis. Lembaga legislatif menjadi
penting mengingat perannya sebagai ujung tombak dimana berbagai revisi
peraturan bias gender dapat dilakukan. Fenomena under-representation
of women in elected legislative assemblies, menurut Bryson, bukanlah
tipe dunia ketiga yang relatif rendah dalam berdemokrasi, kenyataan itu juga
dialami perempuan-perempuan Barat seperti Amerika atau Inggris. Di Amerika
Serikat (menurut catatan hingga Mei 2001) jumlah perempuannya di legislatif
hanya 14% kemudian Inggris hanya 18%, keduanya jelas jauh dari angka “kritis”
30%. Padahal di negara Afrika Selatan anggota parlemen perempuannya sudah
mencapai 29,8% dan di Argentina sudah mencapai 26,5%.
Di
Indonesia, menjelang Pemilu 2004, kaum perempuan boleh sedikit berbangga. UU
Pemilu yang belum lama disahkan memuat satu pengakuan besar bagi kaum perempuan.
UU Pemilu itu mengharuskan partai politik untuk memberi jatah 30 persen kepada
perempuan untuk jadi calon anggota lembaga legislatif. Kaum perempuan boleh
bangga karena pernyataan itu bukan pemberian cuma-cuma, bukan hasil budi baik
anggota dewan laki-laki, tetapi perjuangan kaum hawa, baik yang ada di parlemen
maupun diluar parlemen. Kaum perempuan boleh juga tidak berbangga, karena
ketentuan itu hanya sebatas calon bukan “caleg jadi”, dan ketentuan ini tidak
menyebutkan sanksi apapun bagi partai yang melanggar. Kalau dalam daftar caleg
nanti banyak partai politik yang tidak memenuhi syarat 30% calon perempuan, apa
yang harus dilakukan. Mungkin saja persyaratan 30% itu terpenuhi, tetapi
mayoritasnya berada pada nomor urut sepatu, caleg penggembira.
Menurut
Richard Matland (2002) ada tiga persoalan (prasyarat) penting yang harus
dilalui perempuan dalam perjuangannya menuju anggota legislatif atau dapat juga
dikatakan sebagai proses rekruitmen legislatif. Pertama, harus memiliki
keinginan berjuang untuk pemilihan. Kedua, harus dipilih oleh partai politik
sebagai kandidat. Ketiga, harus dipilih oleh para pemilih. Pertama, merupakan
prasyarat penting, dimana perempuan harus mengambil keputusan, apakah dia mau
mengikuti pemilihan anggota atau tidak. Prasyarat ini harus terwujud, jangan
sampai seorang kandidat tampil karena terbawa arus lingkungan bukan tekad
dirinya. Ini dapat berpengaruh terhadap kegigihan dalam berjuang. Pertimbangan
dalam diri ini memang kompleks, menurut Matland, setidaknya dipengaruhi oleh
dua faktor. Pertama, faktor ambisi politik pribadi. Bagi perempuan
berpendidikan yang diajarkan bahwa politik adalah dunia pria dan penuh dengan
permainan kotor, maka mereka akan cenderung kurang mengembangkan ambisi
politiknya dan tidak bersemangat dalam kampanye. Faktor kedua adalah berkaitan
dengan apakah ada peluang dalam sistem politiknya. Faktor ini seringkali
menjadi penentu bagi orang yang berpikir rasional. Meskipun ia mempunyai ambisi
yang tinggi, tetapi bila ia tahu bahwa peluangnya tipis untuk terpilih, umumnya
mereka tidak akan repot-repot untuk mencalonkan diri. Jadi, ambisi politik
pribadi dan ada tidaknya peluang untuk terpilih, merupakan faktor-faktor
penting yang mempengaruhi seseorang dalam memutuskan mengikuti pemilihan atau
tidak. Masalah kedua, partai-partai politik umumnya tertarik pada karakteristik
para anggota yang memiliki mental yang kuat, mampu bekerja keras, tegas, dan
ciri lainnya, yang umumnya dimiliki laki-laki. Kemudian, partai politik
dimanapun juga berada umumnya tertarik dan mendapatkan calon-calon yang berasal
dari kelompok elit. Kelompok elitpun umumnya didominasi laki-laki. Bagi
perempuan berpendidikan sekalipun, bila faktor pendidikan ternyata tidak
menjadi pertimbangan utama partai politik, maka kaum perempuan akan mengalami
kesulitan untuk tampil menarik dimata partai politik.
Solusi
untuk persoalan kedua ini, menurut Matland, bisa dibantu melalui
kelompok-kelompok penekan, seperti melalui gerakan perempuan untuk kandidat
perempuan. Masalah terakhir, apakah kandidat perempuan itu dipilih oleh
pemilihnya sendiri atau tidak. Hasil studi tentang pemilihan umum di
negara-negara industri maju mengemukakan bahwa para pemilih biasanya lebih
memilih karena partai dari pada kandidat pribadi. Pada waktu menerima kartu dan
hendak memberikan suara, umumnya bayangan label partai lebih menonjol
dibandingkan kandidat pribadi (Matland, 2002). Meskipun tidak ada laporan
penelitian serupa di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sepertinya
pertimbangan para pemilih seperti itu tidak jauh berbeda, dengan yang terjadi
di Indonesia. Banyak persepsi yang menyatakan ketidakyakinan akan kuota 30% di
parlemen dapat terwujud dalam Pemilu. Ada banyak alasan yang antara lain: Belum
banyak kader perempuan yang memadai untuk tingkat standar sekalipun. Di
kalangan aktivis sendiri, masih saja ada pro-kontra. Proses sosialisasi akan
pentingnya peran publik, terutama bidang politik, belum banyakdilakukan secara
berkualitas. Peluang karir politik di parlemen relatif sempit dibandingkan jumlah
calon dari seluruh Indonesia. Munculnya kuota 30% dapat dilihatnya sebagai
ancaman serius bagi calon maupun Anggota Dewan laki-laki. Semua itu,
mengisyaratkan pentingnya kegigihan kaum perempuan, untuk meraih langkah affirmative
action di DPR.
Di
Indonesia ada banyak organisasi perempuan yang satu sama lain sudah menjalin
kerjasama, meskipun belum semua. Seperti: federasi organisasi KOWANI yang
mempunyai anggota sebanyak 78 organisasi. Kemudian ada Badan Musyawarah
Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) Di daerah propinsi ada BKOW dan di
Kabupaten dan Kota ada GOW yang kesemuanya dapat membentuk sebuah jaringan untuk
mendukung dan melakukan
penekanan-penekanan demokratis. Khusus di bidang politik, terdapat
jaringan baru seperti KPI (Koalisi Perempuan
Indonesia dan KPPI (Kaukus Perempuan Politik Indonesia ). Melalui jaringan yang
ada ini kaum perempuan Indonesia dapat melakukan beberapa hal: Meningkatkan
keterwakilan perempuan di partai-partai politik. Langkah ini memang agak
terlambat. Tetapi tetap harus dilakukan untuk periode mendatang. yang dimaksud
diusahakan sekeras mungkin perempuan dalam partai politik berada posisi
pengurus harian, ketua atau sekretaris. Kedua, melakukan terobosan ke
pusat-pusat kekuasaan berupa lobi-lobi khusus pada pimpinan teras partai,
pimpinan teras eksekutif, pimpinan teras legislatif dan yudikatif. Ketiga, sosialisasi
melalui seminar, lokakarya, bahkan kampanye partai yang benar-benar ingin
memberi kuota gender. Keempat, melakukan advokasi para pemimpin atau pengurus
partai-partai politik. Baru-baru ini di Yogyakarta, ada seorang ketua
partai perempuan tingkat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY terpaksa harus
mengundurkan diri, karena tidak kuat menghadapi tekanan, intimidasi dan fitnah.
Dari alasan yangdikemukakan, bukannya dia tidak mampu atau tidak mempunyai
ambisi, tetapi lebih kepada tidak sesuainya
langkah para pengurus partai dengan hati nuraninya. Lagi-lagi ini membuktikan
bahwa kaum perempuan tidak suka kondisi yang tidak peduli kedamaian. Kelima, membangun
akses ke media. Bagaimanapun media, seringkali lebih ampuh dalam melakukan
penekanan-penekanan melalui pembentukan opini masyarakat. Strategi apa yang
perlu dilakukan untuk meraih kuota gender di Parlemen, masih dapat dirumuskan
lebih panjang lagi. Yang lebih penting dari semua itu, sebenarnya sikap dan
tindakan kebersamaan dari semua yang peduli akan kuota 30% itu. Tidak lupa,
bahwa proses pemberdayaan perempuan harus terus menerus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Internasional Institute for
Democracy and Electoral Assistance ( International IDEA) (2002). Perempuan di Parlemen: Bukan
Sekedar Jumlah. Penerbit AMEEPRO, Jakarta, Indonesia.
Nahiyah J.F. (2003) Profil Kedudukan
& Peranan Perempuan di Provinsi DIY. Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian UNY.
National Democratic Institute
(NDI) dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, ( 2002). Keterwakilan
Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum. Proseding Seminar Internasional.
Utami, T. S.(2001) Perempuan Politik Di Parlemen, Sebuah Sketsa Perjuangan dan Pemberdayaan 1999-2001. Penerbit Harian Umum DUTA MASYARAKAT.
Fakih.
M, 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transpormasi
Sosial. Jogyakarta. Pustaka Pelajar