Globalisasi dan Kedaulatan Negara
Globalisasi bisa diartikan sebagai sebuah proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas waktu. Globaliasasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang pada akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Akan tetapi hingga sekarang tidak satu definisi globalisasi mandiri, karena definisi globalisasi mendapat pengertian yang jelas dan dapat dipahami ketika di ikuti dari sudut pandang yang lain. Sebagaimana globalisasi keuangan yang tentunya berbeda dengan globalisasi ekonomi. Sehingga banyak pengertian yang diberikan untuk menafsirkan globalisasi dari berbagai macam posisi orang yang memberi pengertian.
Pengertian globalisasi yang masih fenomenal adalah interaksi antar masyarakat dalam suatu negara dengan masyarakat negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan pengertian secara harfiah tentang globalisasi itu sendiri. Jan Art Scholte dikutip di Aleksius Jemadu (2008) membagi dimensi globalisasi menjadi lima. Pertama, Internationalization yang dapat meningkatkan hubugan antar negara tanpa batas-batas dengan prioritas terhadap aliran barang, jasa, modal, tekhnologi dan manusia. Kedua, liberalization dengan fokus utama kebebasan terhadap mekanisme pasar yang terbuka. Ketiga, universalization ini cendrung pada penyebaran nilai-nilai, atau penyeragaman kebudayaan yang dapat dijumpai disetiap Negara yang diakui secara universal. Keempat, westernization, dimana ini keberlanjutan dari pada modernisasi yang dipelopori oleh dnia barat dan Negara-negara berkembang harus mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pondasi budaya aslinya. Kelima, globalisasi juga membawa pada deterritorialization atau a spread of supraterritoriality dalam hal ini adalah munculnya regulasi atau institusi yang melampaui batas Negara bangsa karena banyak persoalan yang tidak hanya diselesaikan dalam negeri sendiri namun harus secara global.
Sementara itu Robert Keohane dan joseph Nye menggambarkan globalisasi (mereka menyebutnya dengan globalisme) sebagai “situasi dunia yang melibatkan jaringan-jaringan interdepensi pada jarak yang multikontinental”. Kedua orang ini menggambarkan kesaling tergantungan itu kedalam lima bidang: ekonomi, budaya, masyarakat, lingkungan dan militer. Dari banyaknya penafsiran tentang globalisasi, sehingga pada perjalanannya menimbulkan berbagai macam pandangan terhadap globalisasi dengan asumsi bahwa globalisasi sangat menguntungkan bagi negara-negara untuk bersatu dalam membangun pondasi negara, tapi ada juga yang berpandangan bahwa globalisasi suatu fenomena yang merugikan bagi negara berkembangan dan selalu diuntungkan oleh negara kaya karena globalisasi merupakan kepanjangan tangan negara maju yang secara kemapanan pondasi sudah kuat dan kokoh. Sebagaimana pandangan antara perspektif hiper globalis yang menyambut positif terhadap globalisasi, skeptis globalis ini lebih menekankan bahwa globalisasi sangat merugikan dan menguntungkan korporasi dan negara-negara kaya sementara tranformasi globalis lebih pada jalan tengah yang sepakat dengan globalisasi dengan syarat harus adil dan setara dalam perjalanannya, perspektif ini di ungkapa oleh David Held dan Anthony McGrew mengatakan bahwa ada tiga perspektif dalam globalisasi, diantaranya :
Hal senada dengan pendapat ini di kemukakan oleh Cochrane dan Pain bahwa kaitannya dengan globalisasi, ada tiga posisi teoritis yang memberikan perspektif tentang globalisasi, yaitu:
1. Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
a. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
b. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
2. Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
3. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Dampak Globalisasi terhadap Kedaulatan Negara Indonesia
Globalisasi yang semula diharapkan dapat membawa kemakmuran bagi masyarakat, justru berakibat sebaliknya dimana banyak negara-negara mengalami keterpurukan ekonomi. Globalisasi menciptakan liberalisasi ekonomi sehingga memaksa negara untuk mampu bersaing dan mensejajarkan dirinya dengan negara lain dalam bidang ekonomi. Ketidakmampuan bersaing dapat mengakibatkan industri lokal suatu negara tidak berkembang dan memperburuk perekonomian Negara-negara berkembang seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Proses globalisasi yang dirasakan Indonesia terlihat dengan munculnya globalisasi ekonomi, Globalisasi Ekonomi digambarkan sebagai masa ketika pasar bebas terjadi, peningkatan yang tajam dalam perdagangan internasional, investasi, arus kapital, kemajuan dalam bidang teknologi dan meningkatnya peran institusi-institusi multilateral.
Dalam ekonomi global institusi-insitutsi keuangan dan kerjasama-kerjasam global lainnya melakukan aktivitasnya tanpa ikatan nasional. Bahkan kini mereka mampu mempergunakan pemerintah untuk membubarkan setiap aturan-aturan nasional dalam aktivitas mereka. Istilah ini mengandaikan pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam kancah ekonomi global, seperti yang dikehendaki perusahaan kapitalisme Trans National Coorporations (TNCs) dengan menggunakan kesepakatan World Trade Organisation (WTO) serta difasilitasi oleh lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia.
Masuknya Indonesia menjadi anggota WTO, telah mengakibatkan terbatasnya ruang gerak Indonesia dalam mengatur keluar masuknya barang melewati perbatasan, munculnya persoalan-persoalan dibidang ekonomi lainnya. Di era globalisasi munculnya aktor-aktor non negara, terutama aktor yang mempunyai kekuatan modal yang sangat kuat, seperti MNCs/TNCs dan NGO yang mempunyai kemampuan memaksa negara, terutama negara berkembang. MNC & TNC yang mempunyai modal yang besar untuk mempengaruhi kebijakan negara, mempreteli kekuasaan negara, dan pada akhirnya mendikte negara. Dengan kekuasaan yang dimliki, TNC bisa melobby aparat negara untuk menjaga kepentingan mereka. Bahkan, melalui tekanan yang demikian kuat mereka berhasil membujuk dan memaksa pemerintah untuk mengikuti kemauan mereka, yang padahal itu akan menyengsarakan rakyat sendiri seperti kasus Freeport dan Blok Cepu yang kepemilikan modalnya di miliki oleh modal asing.
Dalam studi kasus tentang Indonesia, masuknya Indonesia sebagai anggota WTO telah membuat Indonesia tidak lagi memliki kedaulatan dalam perekonomian nasional. Indonesia dipaksa tunduk dalam perjanjian-perjanjian ekonomi internasional yang lebih memihak kepada Negara-negara maju. Melalui perjanjian yang disepakati bersama, negara-negara maju melakukan eksploitasi terhadap sumber daya yang dimiliki negara-negara sedang berkembang. Indonesia yang sebelumnya memiliki program REPELITA dalam menata pembagunan ekonomi nasional kini tidak lagi memiliki program yang jelas daam menata pembangunan ekonomi nasional. Indonesia kini hanya bagai boneka bagi negara-negara maju yang terpaksa melakukan privatisasi terhadap asset-aset berharga negara yang secara tidak langsung memberikan jalan bagi negara-negara maju untuk menanamkan modal dan menguasai perekonomian di indnoesia. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki sumber daya manusia yang melimpah, Indonesia tidak dapat memanfaatkannya dengan baik dan dipaksa tunduk terhadap kebijakan-kebijakan international yang merupakan penjajahan baru bagi Indonesia sendiri.
Dalam globalisasi dampak negatif yang kini dapat dirasakan Indonesia sendiri tentunya selain permasalahan-permsalahan diatas yaitu pada permasalahan perekominnya yang tidak cukup stabil,dan hal ini pula yang mendorng negara Indonesia untuk mencari jalan keluar untuk menanggulangi deficit anggaran negaranya yang cukup lemah, dari hal tersebut kemudian memunculkan berbagai bentuk pandangan untuk memutuskan jalan privatisasi terhadap berbagai aset negara indonesia sendiri,dimana privatisasi dianggap dapat mengembalikan kestabilan suatu perekonomian negara. Ada pun beberapa BUMN Indonesia yang telah di privatisasi oleh perusahaan swasta asing dintaranya : Krakatau steel, BRI, Indosat, Telkomsel, Glora Bung Karno, PT FreePort dan Exxon mobile. Tentunya hal ini dapat mengikis kedaulatan negara Indoneia sendiri karena berbagai bentuk perusahaan negara yang seharusnya menjadi milik negara Indoneia kini beralih menjadi milik perusahaan swasta asing dimana hal ini meyebabkan minimnya pelayanan serta legitimasi politik yang mengutamakan tanggung jawab terhadap public, disebabkan karena pihak swasta lebih berpioriatas atas untung dan rugi yang akan di hasilkan dari public. Dan demi meingkatkan devisa negera atas negara- negara yang perekonomiannya lemah, pengaruh globalisasi dari aspek ekonomi di Indonesia juga memungkinkan terjadinya invetasi oleh pihak asing seperti adanya ( Mc Donald, coca-cola, Pizza Hut, grand mall, dll. ) diberbgai wilayah Indonesia, tentunya hal tersebut dapat menyebabkan adanya persaingan ekonomi antara perusahaan traditional dengan perusahaan milik asing di Indonesia. Dengan adanya berbagai MNC di Indonesia juga telah menghilangkan rasa cinta masyarakat Indonesia atas produk dalam negeri sendiri dan indentitas diri sebagai warga Indonesia khususnya anak muda,yang di pengaruhi melalui berbagai produk dan gaya kehidupan asing,sebab MNC yang di pelopori oleh faktor gobalisasi mamapu membuka cakrawala masyarakat secara global dimana segala yang baik di luar negeri di anggap baik untuk di jadikan sebagai aspirasi untuk di terapkan di negara Indonesia.
Jika dilihat dari sisi politik dan kebudayaan pengaruh Globalisasi di Indonesia juga menimbulkan sisi positif atas kedaulatan negara Indonesia dimana sistem pemeritahannya kini dapat di jalankan secara demokrtis dan terbuka sehingga dari hal ini pula masyarakat Indonesia sendiri kini mampu menciptakan budaya untuk meniru pola pikir yang tinggi seperti etos kerja yang tinggi, disiplin serta mempunyai keinginan untuk meningkatkan IPTEK yang di tiru dari bangsa lain yang telah maju demi kemajuan negara Indonesia.
Disisi lain, banyak sekali kejahatan yang muncul akibat globalisasi sebagaimana disinggung di atas yang melahirkan perusahaan-perusahaan asing di indonesia. Masuknya pasasr modern carefour, dan MNCs lainnya ternyata telah menjadi penyebab hilangnya akses lapangan perdangan bagi pedagang lokal atau yang masih mengandalkan pasar tradisional. Pemerintah indonesia tidak bisa melihat bahwa perdagangan tradisional pada dasarnya menjadi kekuatan besar bagi perekonomian nasional pada saat negara mengalami kiris atau resesi keuangan global sebab, pasar tradisional lebih mandiri dari regulasi perdagangan internasional. Perusahaan MNCs sangat bergantung pada kehendak negara yang ada di balik perusahaan tersebut karena mustahil rasanya perusahaan yang jauh dari negara asalnya tidak mendapat perlindungan apaligi negara tersebut juga mendapat keuntungan yang besar dari perusahaan yang ada di indoenesia.
Bahkan ada perusahaan dari Amerika Serikat dan Eropa yang jelas sekali menghancurkan perekonomian nasional indonesia dimanan perusahaan besar dari eropa seperti Nestle dan Unilever menuntut agar pemeliharaan lingkungan kepala sawit harus berstandarkan cinta dan peduli lingkungan. Perusahaan tersebut menyatakan bahwa produksi kelapa sawit indonesia mencemarkan lingkungan dan selalu banyak aturan. Padahal ekspor Croud Palm Oil (CPO) indonesia hanya 9,5 % ke eropa dari jumlah produksi 21 juta ton kelapa sawit dan pasar terbesar dari ekspor ini ada di china dan india dan indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia (kompas/19/2010). Sehingga tertundanya transaksi ekspor CPO ke AS dan eropa menyebabkan anjloknya harga jual CPO ke pabrik di sumatera selatan selama oktober 2010 menurun dari Rp 7.000 per kilogram menjadi 4.850 per kilogram (kompas/29/2010).
Keganjalan diatas merupakan bukti bahwa perusahaan besar Nestle dan Unilever sangat kuat pengaruhnya di indonesia padahal kebijakan dan tuntutan mereka merugikan petani kelapa sawit sendiri dengan anjloknya harga karena indonesia masih terikat dengan aturan yang dibuat oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO ini merupakan forum bersama antar pemanggu kepentingan kelapa sawit dunia yang berkomitmen terhadap produksi yang juga mengedepankan kelestarian lingkungan. Keterikatan kepentingan ini yang menjadi hilangnya independensi kekuatan indonesia dalam produksi kelapa sawit mentah sekalipun tingkat produksinya lebih tinggi dari pada malaysia pada tahun 2007. Momen ini yang tidak dilakukan oleh indonesia untuk tidak sepenuhnya tergantung pada mereka agar kedaulatan bangsa tidak hilang.
Belajar dari kasus krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan negara-negara Aslainnya pada tahun 1997 dapat dilihat sebagai dampak dari globalisasi ekonomi yang meruntuhkan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade sebelumnya. Pada awal 1990an memang ada optimisme yang tinggi di kalangan pelaku ekonomi mengenai prospek pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Perdagangan dan investasi bertumbuh pesat yang mendorong dibentuknya kerjasama ekonomi regional. Keterlenaan pemerintah dan para pelaku ekonomi swasta membuat mereka lupa bahwa globalisasi ekonomi khususnya dalam bidang keuangan selalu mengandung risiko terjadinya krisis dan kegagalan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru sebenarnya rapuh sehingga tidak tahan uji terhadap krisis yang terjadi. Memang selama paruh pertama dekade 1990-an pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup meyakinkan dan tingkat inflasi serta defisit anggaran juga tidak mengkhawatirkan.
Tetapi yang menjadi masalah adalah tingkat kerentanan yang tinggi disektor dunia uasaha dan keuangan. Pinjaman eksternal jangka pendek yang melambung terutama yang dilakukan oleh lembaga non perbankan menimbulkan risiko yang sangat tinggi pada nilai tukar mata rupiah. Kondisi politik yang tak pasti karena kesehatan soeharto dan gejolak politik yang menuntut mundurnya penguasa orde baru menyempurnakan kerentanan Indonesia terhadap serangan para spekulator dalam pasar uang global. Setelah mata uang baht di Thailand diambangkan pada tanggal 2 juli 1997, tekanan terhadap rupiah semakin kuat. Keadaan ini memaksa pemerintah untuk mengambangkan rupiah pada tanggal 14 agustus 1997. Karena situasi yang sudah tak terkendalikan lagi, maka pemerintah memutuskan untuk meminta campur tangan IMF untuk memulihkan kredibilitas Indonesia di dunia internasional. Biaya sosial, ekonomi dan politik yang harus ditanggung oleh pemerintah dan rakyat Indonesia sebagai implikasi dari bail out yang dilakukan oleh IMF sangat besar sehingga perekonomian Indonesia pada tahun-tahun awal setelah mengalami kontraksi yang signifikan. Bagaikan lepas dari mulut singa dan masuk ke mulut harimau perekonomian Indonesia yang telah terhempas oleh globalisasi harus menghadapi angka pengangguran dan kemiskinan yang melonjak tajam. Indonesia harus kembali membangun infrastruktur ekonomi untuk menggapai kembali tingkat pertumbuhan yang telah dicapai sebelumnya.
Meskipun kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak seburuk ketika dilanda krisis pada akhir tahun 1990-an, prestasi Indonesia dalam memanfaatkan peluang globalisasi belum bisa dikatakan optimal. Kalau peningkatan perdagangan dengan mitra dagang utama suatu negara bisa dijadikan ukuran keberhasilan dalam memanfaatkan globalisasi ekonomi maka akan tampak bahwa kinerja Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya masih tertinggal jauh. Sebagaimana diketahui Cina adalah pasar potensial bagi produk ekspor dari negara-negara ASEAN. Permintaan Cina akan ekspor meningkat tajam dari tahun ke tahun. Ternyata peluang dari globalisasi ini tidak secara optimal dimanfaatkan oleh Indonesia sementara negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand secara agresif meningkatkan ekspornya ke Cina. Sebagai negara penerima FDI Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Misalnya, sebagai penerima FDI dari Jepang, Indonesia masih berada jauh dibawah Thailand, Singapura dan Cina. Dari laporan yang dipublikasikan oleh The Economist Intelligence Unit dengan judul World Invesment Prospects to 2011 ditemukan bahwa untuk periode 2007-2011 Indonesia berada pada urutan ke 36 (dengan nilai survei sebesar 6,6 Miliyar dolar AS) sebagai penerima FDI dari 82 negara yang disurvei. Posisi ini jauh dibawah dari negara Asia lainnya seperti Cina pada urutan ke 3 dengan nilai sebesar 86.8 milyar dollar AS, Singapura pada urutan ke 15 dengan nilai sebesar 27,1 milyar dollar AS, Thailand pada urutan ke 27 dengan nilai sebesar 8.9 milyar dollar AS dan malaysia dengan nilai sebesar 6,8 milyar dollar AS.
Teori apapun yang kita pakai untuk menjelaskan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir 1990an suatu hal yang tidak bisa diingkari bahwa krisis tersebut serta solusi yang diadopsi oleh pemerintah menunjukkan ketidakberdayaan diplomasi ekonomi Indonesia.tidak pernah terpikirkan bahwa diplomasi ekonomi yang diperlukan harus berorientasi pada proses emansipasi bangsa dari dominasi struktur ekonomi politik global yang menguntungkan negara-negara industri maju serta lembaga pembangunan dan keuangan internasional yang mendukung mereka. Karena ketidakberdayaan diplomasi ekonomi maka posisi Indonesia menghadapi negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional sebelum dan sesudah krisis ekonomi hanya beralih dari ‘’recipient’’ yang pasif dan patuh mejadi ‘’patient’’ yang harus menelan pil pahit IMF yang justru memperparah penyakit yang dideritanya.
Referensi
catatan Perkuliahan Pengantar Studi Globalisasi. FISIP UMY.2010
http://www.scribd.com/doc/17144495/MAKALAH-GLOBALISASI
Kompas, tanggal 23 Oktober 2010
Kompas, tanggal 27 Oktober 2010
Kompas, tanggal 29 Oktober 2010
Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar