Senin, 26 November 2012

KESETARAAN GENDER DALAM KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN, STUDI KASUS PEMILU 2004 DI INDONESIA



PENDAHULUAN
Permasalahan gender di masyarakat sudah ada sejak manusia itu mulai muncul dimuka bumi ini. Namun pada awalnya ketika ilmu pengetahuan dan teknologi belum maju seperti saat ini, isu gender belum mendapat perhatian dan tidak dipermasalahkan baik oleh masyarakat secara umum maupun oleh kaum feminis. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya yang berkembang terkait dengan peran atau pembagian kerja, tanggung jawab serta citra baku laki-laki dan perempuan pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sah-sah saja.
Seiring dengan perkembangan jaman yang diikuti oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, perhatian masyarakat terutama kaum feminis terhadap fenomena sosial yang terkait dengan isu gender mulai menjadi fokus perhatian. Perhatian terhadap  permasalahan gender mulai muncul sekitar tahun 40-an yang digagas oleh kaum feminis di Barat. Munculnya perhatian terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya kesadaran bahwa ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib lawan jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan mulai muncul yang dipelopori oleh tokoh feminis MaryWollstonecraft dan John StuartMill (Amal, 1992).
Dalam perkembangan berikutnya diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis yakni mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib kaum perempuan yang dianggapnya berada dalam posisi teropresi, tersubordinasi, termarjinalisasi, dan terdiskriminasi. Gerakan feminis ini pada awalnya berkembang di Negara Barat seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain, dan dalam perkembangannya gerakan ini berkembang dalam tiga gelombang besar yakni feminisme gelombang pertama, kedua dan ketiga. Feminisme gelombang pertama berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis (1789) dimana pada saat ini berkembang beberapa paham feminis seperti; feminis Liberal, feminisme Radikal dan feminisme Marxis/Sosialis.
Dalam memahami keteropresian perempuan, masing-masing feminis ini mempunyai pandangan yang berbeda. Feminisme Liberal memandang bahwa keterbelakangan perempuan disebabkan karena adanya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai mahluk yang tersubordinasi bukan karena kondisi alamiah yang dimilikinya. Sementara itu, feminisme Radikal memandang ketertindasan perempuan karena seksualitas dan sistem gender yang akhirnya memunculkan sistem patriarkhi, sedangkan feminisme Marxis memandang keteropresian perempuan disebabkan karena struktur sosial, ekonomi dan politik yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme (Arivia, 2005).
Feminisme gelombang kedua dikembangkan oleh Simone de Beauvoir yang gerakannya dikenal dengan feminisme Eksistensialis. Faham ini melihat persoalan penindasan perempuan dimulai dengan adanya beban reproduksi di tubuh perempuan. Menurutnya beban reproduksi yang ditanggung perempuan dan tanggung jawab membesarkan anak membuat perempuan mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap laki-laki. Sementara feminisme gelombang ketiga dikenal dengan feminisme Postmoderen, feminisme Multikultural dan Ekofeminisme. Pada dasarnya semua paham feminisme ini bertujuan untuk melihat dasar keterbelakangan perempuan yang kemudian ingin memperbaiki atau mencarikan solusinya sehingga nasib perempuan menjadi lebih berdaya.
Demikian juga di Indonesia, perjuangan untuk memperbaiki nasib perempuan sudah muncul sejak jaman penjajahan Belanda yang dipelopori oleh R.A Kartini yang gerakannya dikenal dengan sebutan ”emansipasi”. Gerakan ini pada prinsipnya juga merupakan gerakan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan Indonesia yang pada saat itu eksistensinya sangat terpasung oleh budaya patriarki sehingga perempuan tidak memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan lain-lain. Meskipun gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan sudah berlangsung sejak lama, namun sampai saat ini ketimpangan gender di berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti dalam hal pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya masih cukup menonjol. Oleh karena itu untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat seperti yang sudah dicanangkan melalui komitmen Millenium Development Goals (MDGs), maka perlu dilakukan berbagai upaya penanganan yang serius.
Dewasa ini permasalahan gender sudah menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia. Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat menuju terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG).
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) adalah suatu bentukan kata yang mengandung dua konsep, yaitu kesetaraan gender dan keadilan gender. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi lakilaki dan perempuan untukmemperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagaimanusia, agarmampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan (Angka I.3 dan 4 Lampiran Inpres No.9 Tahun 2000). Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya.
Dalam mengatasi persoalan gender, telah dilakukan berbagai upaya baik di tingkat internasional, nasional maupun regional. Di tingkat internasional pada tahun 1950 dan 1960-an telah di deklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) dan diakomodasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1968 melalui pembentukan Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI). Selanjutnya, pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan deklarasi tersebut. Oleh karena deklarasi tersebut sifatnya tidak mengikat, maka komisi PBB tentang Kedudukan Wanita kemudian menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tahun 1975 di Mexico City, PBB menyelenggarakan Konfrensi Wanita Internasional yang menghasilkan antara lain deklarasi persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal: pendidikan dan pekerjaan. Tiga tahun kemudian yakni tahun 1978 pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan membentuk Menteri Muda Urusan Peranan Wanita (Men.UPW).
Melalui lembaga negara ini Pemerintah Indonesia melaksanakan aksi penanggulangan. permasalahan perempuan dan gender yang terjadi di masyarakat. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Karena ketentuan konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pemerintah RI dalam Konfrensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menantatangani konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui konvensi tersebut.
Dalam pemungutan suara itu Indonesia menyatakan setuju sebagai perwujudan untuk ikut berpartisipasi dalamusahamenghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan. Selanjutnya konvensi ini ditetapkan dalam bentuk undang-undang yakni Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan penanganan masalah gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan pendekatan Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum mampu mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development (GAD).

KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN
     Secara umum (di dunia) telah terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga parlemen. Ada 112 negara yang mengalami peningkatan, dan ada 28 negara yang mengalami penurunan. Salah satu negara yang mengalami penurunan keterwakilan perempuannya adalah Indonesia. Penurunan itu dapat dilihat selama 4 kali Pemilu terakhir. Pada tahun 1987 keterwakilan perempuan sebesar 13%, pada tahun 1992 turun menjadi 12,5%, kemudian pada tahun 1997 turun lagi menjadi sebesar 10,8% dan akhirnya ketika memasuki era reformasi tahun 1999 keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen turun lagi menjadi 9%. Itulah sebabnya kaum perempuan Indonesia bertekad melakukan langkah affirmative action, atau kuota 30% bagi perempuan di parlemen. Isu ini tidak samadengan usaha mengabaikan  kualitas, apalagi dikatakan sebagai “mengemis”. Menurut Diana Maddock, seperti dikutip Rumbold (1991), kuota gender merupakan perjuangan perempuan yang menginginkan perlakuan yang sama bukan perlakuan khusus, karena tujuannya memperoleh persamaan kesempatan bukan persamaan pendapatan.
     Ada beberapa alasan mengapa affirmative action perlu diterapkan. Pertama, kaum perempuan bukanlah tipe individu yang suka “keras” mengejar kepentingan politik, namun tidak berarti ia tidak mempunyai kemampuan. Kedua, bagaimanapun Pemilihan Umum pada dasarnya merupakan perwujudan dari instrumen politik yang bertugas dan membahas masalah keterwakilan bukan kualifikasi pendidikan (representative, not educational qualification). Ketiga, dalam sistem politik yang masih kental nuansa patriarki-nya akan sangat tidak fair bagi perempuan untuk berkompetisi. Kegigihan perjuangan perempuan di dunia politik, khususnya di lembaga legislatif juga bukan tanpa dasar. Menurut Valerie Bryson (1999) dari sekian isu terpinggirkannya perempuan di dunia politik, masalah rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen merupakan isu sentral yang kini banyak dikaji kaum feminis. Lembaga legislatif menjadi penting mengingat perannya sebagai ujung tombak dimana berbagai revisi peraturan bias gender dapat dilakukan. Fenomena under-representation of women in elected legislative assemblies, menurut Bryson, bukanlah tipe dunia ketiga yang relatif rendah dalam berdemokrasi, kenyataan itu juga dialami perempuan-perempuan Barat seperti Amerika atau Inggris. Di Amerika Serikat (menurut catatan hingga Mei 2001) jumlah perempuannya di legislatif hanya 14% kemudian Inggris hanya 18%, keduanya jelas jauh dari angka “kritis” 30%. Padahal di negara Afrika Selatan anggota parlemen perempuannya sudah mencapai 29,8% dan di Argentina sudah mencapai 26,5%.
     Di Indonesia, menjelang Pemilu 2004, kaum perempuan boleh sedikit berbangga. UU Pemilu yang belum lama disahkan memuat satu pengakuan besar bagi kaum perempuan. UU Pemilu itu mengharuskan partai politik untuk memberi jatah 30 persen kepada perempuan untuk jadi calon anggota lembaga legislatif. Kaum perempuan boleh bangga karena pernyataan itu bukan pemberian cuma-cuma, bukan hasil budi baik anggota dewan laki-laki, tetapi perjuangan kaum hawa, baik yang ada di parlemen maupun diluar parlemen. Kaum perempuan boleh juga tidak berbangga, karena ketentuan itu hanya sebatas calon bukan “caleg jadi”, dan ketentuan ini tidak menyebutkan sanksi apapun bagi partai yang melanggar. Kalau dalam daftar caleg nanti banyak partai politik yang tidak memenuhi syarat 30% calon perempuan, apa yang harus dilakukan. Mungkin saja persyaratan 30% itu terpenuhi, tetapi mayoritasnya berada pada nomor urut sepatu, caleg penggembira.
     Menurut Richard Matland (2002) ada tiga persoalan (prasyarat) penting yang harus dilalui perempuan dalam perjuangannya menuju anggota legislatif atau dapat juga dikatakan sebagai proses rekruitmen legislatif. Pertama, harus memiliki keinginan berjuang untuk pemilihan. Kedua, harus dipilih oleh partai politik sebagai kandidat. Ketiga, harus dipilih oleh para pemilih. Pertama, merupakan prasyarat penting, dimana perempuan harus mengambil keputusan, apakah dia mau mengikuti pemilihan anggota atau tidak. Prasyarat ini harus terwujud, jangan sampai seorang kandidat tampil karena terbawa arus lingkungan bukan tekad dirinya. Ini dapat berpengaruh terhadap kegigihan dalam berjuang. Pertimbangan dalam diri ini memang kompleks, menurut Matland, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor ambisi politik pribadi. Bagi perempuan berpendidikan yang diajarkan bahwa politik adalah dunia pria dan penuh dengan permainan kotor, maka mereka akan cenderung kurang mengembangkan ambisi politiknya dan tidak bersemangat dalam kampanye. Faktor kedua adalah berkaitan dengan apakah ada peluang dalam sistem politiknya. Faktor ini seringkali menjadi penentu bagi orang yang berpikir rasional. Meskipun ia mempunyai ambisi yang tinggi, tetapi bila ia tahu bahwa peluangnya tipis untuk terpilih, umumnya mereka tidak akan repot-repot untuk mencalonkan diri. Jadi, ambisi politik pribadi dan ada tidaknya peluang untuk terpilih, merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi seseorang dalam memutuskan mengikuti pemilihan atau tidak. Masalah kedua, partai-partai politik umumnya tertarik pada karakteristik para anggota yang memiliki mental yang kuat, mampu bekerja keras, tegas, dan ciri lainnya, yang umumnya dimiliki laki-laki. Kemudian, partai politik dimanapun juga berada umumnya tertarik dan mendapatkan calon-calon yang berasal dari kelompok elit. Kelompok elitpun umumnya didominasi laki-laki. Bagi perempuan berpendidikan sekalipun, bila faktor pendidikan ternyata tidak menjadi pertimbangan utama partai politik, maka kaum perempuan akan mengalami kesulitan untuk tampil menarik dimata partai politik.
     Solusi untuk persoalan kedua ini, menurut Matland, bisa dibantu melalui kelompok-kelompok penekan, seperti melalui gerakan perempuan untuk kandidat perempuan. Masalah terakhir, apakah kandidat perempuan itu dipilih oleh pemilihnya sendiri atau tidak. Hasil studi tentang pemilihan umum di negara-negara industri maju mengemukakan bahwa para pemilih biasanya lebih memilih karena partai dari pada kandidat pribadi. Pada waktu menerima kartu dan hendak memberikan suara, umumnya bayangan label partai lebih menonjol dibandingkan kandidat pribadi (Matland, 2002). Meskipun tidak ada laporan penelitian serupa di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sepertinya pertimbangan para pemilih seperti itu tidak jauh berbeda, dengan yang terjadi di Indonesia. Banyak persepsi yang menyatakan ketidakyakinan akan kuota 30% di parlemen dapat terwujud dalam Pemilu. Ada banyak alasan yang antara lain: Belum banyak kader perempuan yang memadai untuk tingkat standar sekalipun. Di kalangan aktivis sendiri, masih saja ada pro-kontra. Proses sosialisasi akan pentingnya peran publik, terutama bidang politik, belum banyakdilakukan secara berkualitas. Peluang karir politik di parlemen relatif sempit dibandingkan jumlah calon dari seluruh Indonesia. Munculnya kuota 30% dapat dilihatnya sebagai ancaman serius bagi calon maupun Anggota Dewan laki-laki. Semua itu, mengisyaratkan pentingnya kegigihan kaum perempuan, untuk meraih langkah affirmative action di DPR.
     Di Indonesia ada banyak organisasi perempuan yang satu sama lain sudah menjalin kerjasama, meskipun belum semua. Seperti: federasi organisasi KOWANI yang mempunyai anggota sebanyak 78 organisasi. Kemudian ada Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) Di daerah propinsi ada BKOW dan di Kabupaten dan Kota ada GOW yang kesemuanya dapat membentuk sebuah jaringan untuk mendukung dan melakukan  penekanan-penekanan demokratis. Khusus di bidang politik, terdapat jaringan baru seperti  KPI (Koalisi Perempuan Indonesia dan KPPI (Kaukus Perempuan Politik Indonesia ). Melalui jaringan yang ada ini kaum perempuan Indonesia dapat melakukan beberapa hal: Meningkatkan keterwakilan perempuan di partai-partai politik. Langkah ini memang agak terlambat. Tetapi tetap harus dilakukan untuk periode mendatang. yang dimaksud diusahakan sekeras mungkin perempuan dalam partai politik berada posisi pengurus harian, ketua atau sekretaris. Kedua, melakukan terobosan ke pusat-pusat kekuasaan berupa lobi-lobi khusus pada pimpinan teras partai, pimpinan teras eksekutif, pimpinan teras legislatif dan yudikatif. Ketiga, sosialisasi melalui seminar, lokakarya, bahkan kampanye partai yang benar-benar ingin memberi kuota gender. Keempat, melakukan advokasi para pemimpin atau pengurus partai-partai politik. Baru-baru ini di Yogyakarta, ada seorang ketua partai perempuan tingkat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY terpaksa harus mengundurkan diri, karena tidak kuat menghadapi tekanan, intimidasi dan fitnah. Dari alasan yangdikemukakan, bukannya dia tidak mampu atau tidak mempunyai ambisi, tetapi lebih kepada tidak sesuainya langkah para pengurus partai dengan hati nuraninya. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa kaum perempuan tidak suka kondisi yang tidak peduli kedamaian. Kelima, membangun akses ke media. Bagaimanapun media, seringkali lebih ampuh dalam melakukan penekanan-penekanan melalui pembentukan opini masyarakat. Strategi apa yang perlu dilakukan untuk meraih kuota gender di Parlemen, masih dapat dirumuskan lebih panjang lagi. Yang lebih penting dari semua itu, sebenarnya sikap dan tindakan kebersamaan dari semua yang peduli akan kuota 30% itu. Tidak lupa, bahwa proses pemberdayaan perempuan harus terus menerus dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA
Internasional Institute for Democracy and Electoral Assistance ( International IDEA) (2002). Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah. Penerbit AMEEPRO, Jakarta, Indonesia.

Nahiyah J.F. (2003) Profil Kedudukan & Peranan Perempuan di Provinsi DIY. Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian UNY.

National Democratic Institute (NDI) dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, ( 2002). Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum. Proseding Seminar Internasional.

Utami, T. S.(2001) Perempuan Politik Di Parlemen, Sebuah Sketsa Perjuangan dan Pemberdayaan 1999-2001. Penerbit Harian Umum DUTA MASYARAKAT.

Fakih. M, 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transpormasi Sosial. Jogyakarta. Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini